K3 Kebakaran dalam Industri Tekstil

K3 Kebakaran dalam Industri Tekstil

growsafetyinstitute.co.id – Industri tekstil, dengan segala kompleksitasnya, melibatkan berbagai risiko yang memerlukan perhatian khusus terutama dalam hal keselamatan terhadap kebakaran. Kebakaran dapat menyebabkan kerugian besar, baik dari segi kemanusiaan maupun dari aspek aset perusahaan. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang berkaitan dengan kebakaran di industri tekstil dan langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil.

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP/186/MEN/1999, industri tekstil merupakan klasifikasi Bahaya Kebakaran Sedang II. Hal ini disebabkan karena dalam pabrik atau industri tekstil memiliki bahaya serat benang yang beterbangan. Maka, untuk dapat memastikan kondisi lingkungan kerja yang aman perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya:

1. Identifikasi Risiko Kebakaran di Tempat Kerja

Langkah pertama untuk mengatasi risiko kebakaran adalah dengan mengidentifikasi potensi bahaya. Proses produksi tekstil sering melibatkan penggunaan bahan kimia, peralatan pemanas, dan proses panas lainnya yang dapat menyebabkan kebakaran. Perusahaan harus secara sistematis menilai setiap tahap produksi untuk mengidentifikasi sumber potensial kebakaran. Selain itu, perlu adanya pengendalian terhadap residu maupun raw material yang memiliki serat benang halus yang notabene bukan lagi menyebabkan kebakaran, melainkan penyebab peledakan (dust explosion).

Kemudian yang dapat dilakukan adalah mempelajari Material Safety Data Sheet (MSDS) dari penggunaan cat pada pabrik. Hal ini supaya kita dapat mengetahui media pemadam apa dan bagaimana cara pemadamannya. Kita juga dapat mempelajari data informasi kebakaran lainnya seperti flash pointauto ignition temperature, dan flammable range.

2. Peralatan Keselamatan dan Proteksi Kebakaran

Pemeliharaan peralatan keselamatan dan proteksi kebakaran sangat penting. Pemasangan dan pemeliharaan sistem deteksi asap, sprinkler, dan peralatan pemadam kebakaran harus dilakukan secara teratur. Pekerja juga harus dilatih untuk menggunakan peralatan tersebut dengan benar dalam situasi darurat. Selain itu, pengadaan sistem sirkulasi udara yang baik sangat membantu dalam proses pencegahan kebakaran dan peledakan. Kembali lagi, hal tersebut untuk menghindari combustible dust dari serat benang dan flammable range dari cat yang notabene adalah bahan mudah terbakar.

3. Pelatihan dan Simulasi Kebakaran

Pelatihan pekerja dalam menghadapi kebakaran sangat krusial. Hal ini disebabkan karena di mayoritas tenaga kerja pabrik tekstil memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap terjadinya kecelakaan kerja termasuk kebakaran. Terlebih lagi, sebagai besar tenaga kerjanya adalah perempuan. Dalam hal tanggap darurat, kesiagaan melalui sesi pelatihan dan simulasi kebakaran, pekerja dapat mengasah keterampilan evakuasi darurat, penggunaan alat pemadam kebakaran, dan tindakan yang harus diambil dalam situasi kritis. Kesadaran pekerja tentang prosedur darurat dapat mengurangi dampak dan kerugian yang mungkin terjadi.

4. Pengelolaan Bahan Kimia dengan Aman

Industri tekstil sering menggunakan bahan kimia yang mudah terbakar. Pengelolaan yang tepat dan penyimpanan yang aman dari bahan-bahan ini dapat mengurangi risiko kebakaran. Penyimpanan yang salah atau tidak tepat dapat meningkatkan kemungkinan kebakaran dan bahkan ledakan. Untuk itu, biasanya digunakan gudang penyimpanan khusus untuk Bahan Kimia Berbahaya (BKB) dengan beberapa peralatan penanggulangan kebakaran yang memadai. Selain itu, kita juga dapat memberikan secondary containment untuk mencegah terjadinya perluasan tumpahan dari BKB yang disimpan.

5. Desain dan Tata Letak Pabrik yang Aman

Kebanyakan industri atau pabrik tekstil di antara pemukiman warga. Sehingga, apabila terjadi kebakaran, maka bisa jadi kebakaran tersebut akan berdampak ke pemukiman warga. Desain pabrik dan tata letak yang baik dapat membantu mencegah penyebaran kebakaran seperti misalnya memberi tembok atau dinding api yang membatasi wilayah parbik. Selain itu, memastikan bahwa jalur evakuasi tidak terhalang, adanya area pemadaman darurat, dan pembatasan perpindahan api dapat menjadi langkah-langkah kunci dalam merancang pabrik yang aman dari kebakaran dan dapat meminimalisir kerugian jiwa.

6. Evaluasi dan Pemantauan Rutin Sistem Proteksi Kebakaran

Penting untuk secara rutin mengevaluasi dan memantau keefektifan sistem proteksi kebakaran dan pencegahan kebakaran. Tes sistem deteksi kebakaran, pemeliharaan peralatan pemadam kebakaran, dan peninjauan rutin pada prosedur evakuasi merupakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua sistem berfungsi dengan baik.

7. Kebijakan Evakuasi yang Jelas dan Dikomunikasikan

Kebijakan evakuasi yang jelas dan dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh pekerja sangat penting. Pekerja harus mengetahui rute evakuasi, titik pertemuan, dan langkah-langkah yang harus diambil dalam keadaan darurat. Komunikasi yang baik dapat menghindari kepanikan dan memastikan evakuasi yang efisien. Untuk itu, perlu adanya buku tanggap darurat di setiap Perusahaan tidak terkecuali pada pabrik tekstil. Dengan adanya buku tanggap darurat, kita dapat mengetahui informasi dan eskalasi kemungkinan terjadinya tanggap darurat termasuk kebakaran. Selain dibuat, buku tanggap darurat juga seharusnya diimplementasikan yaitu dengan mengadakan simulasi menggunakan skenario yang terdapat dalam buku tanggap darurat. Dengan begitu, kualitas kesadaran dan respon tenaga kerja ketika menghadapi tanggap darurat kebakaran akan lebih optimal lagi.

K3 dalam industri tekstil tidak dapat dipisahkan dari upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Langkah-langkah pencegahan ini bukan hanya untuk melindungi aset perusahaan tetapi juga untuk memastikan keselamatan pekerja. Dengan menerapkan praktik K3 yang baik, memberikan pelatihan yang memadai, dan menjaga peralatan kebakaran dengan baik, industri tekstil dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mengurangi risiko kebakaran yang dapat mengancam kesejahteraan pekerja dan kelangsungan operasional perusahaan.

 

Penulis: Ahmad Nur Hasybi – Tenaga Ahli Kebakaran PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Prinsip K3 dalam Pekerjaan Ketinggian

Prinsip K3 dalam Pekerjaan Ketinggian

growsafetyinstitute.co.id – Pekerjaan ketinggian, mengacu pada kegiatan yang dilakukan pada ketinggian tertentu di atas permukaan tanah, K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sangat penting dalam pekerjaan ketinggian untuk menghindari risiko dan kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan pekerja.

Berikut adalah beberapa prinsip K3 yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan ketinggian:

1. Identifikasi Risiko

Identifikasi potensi risiko yang terkait dengan pekerjaan ketinggian, seperti jatuh bebas, benda jatuh, atau risiko lainnya. Gunakan metode HIRADC dan Job Safety Analisis (JSA) yang sudah disahkan oleh perusahaan agar kita tahu secara pasti mengenai bahaya dan rekomendasi pengendalian yang disarankan.

2. Perencanaan Pekerjaan

Lakukan perencanaan yang cermat sebelum memulai pekerjaan ketinggian, termasuk pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai. Patuhi prosedur, izin bekerja dan beberapa persyaratan lain yang diwajibkan dalam pekerjaan ketinggian.

3. Pemilihan Peralatan Keselamatan

Gunakan peralatan keselamatan seperti helm, harnes, pengaman tali, dan peralatan lain yang sesuai dengan jenis pekerjaan ketinggian yang dilakukan. Selain itu, peralatan lain yang diwajibkan, peralatan tambahan, dan peralatan darurat juga perlu dipersiapkan sebelum pelaksanaan pekerjaan.

4. Pelatihan Pekerja

Pastikan bahwa pekerja yang melakukan pekerjaan ketinggian telah menerima pelatihan yang memadai tentang penggunaan peralatan keselamatan dan prosedur kerja yang aman. Pekerja yang terlatih dan tersertifikasi bisa meminimalisir kejadian kecelakaan kerja yang akan terjadi pada pekerjaan ketinggian.

5. Pemeriksaan Peralatan

Lakukan pemeriksaan rutin terhadap peralatan keselamatan untuk memastikan bahwa semuanya dalam kondisi baik dan dapat digunakan dengan efektif. Gunakan checklist yang ada dan bisa dibutuhkkan untuk membantu kita menganalisa kebutuhan wajib tentang peralatan kerja yang harus kita siapkan.

6. Pengawasan

Pastikan bahwa ada pengawasan yang memadai selama pekerjaan ketinggian untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko dengan cepat. Penerapan kepatuhan terhadap prosedur ini juga perlu dilakukan agar pelaksanaan pekerjaan berjalan optimal. Prosedur juga harus disosialisasi dan dievaluasi agar saat pelaksanaan tidak terjadi kendala yang berarti.

7. Pengendalian Lingkungan

Pastikan lingkungan di sekitar area kerja ketinggian aman dan terkendali. Hindari pekerjaan ketinggian saat kondisi cuaca berbahaya. Komunikasikan apabila pekerjaan harus dilakukan ditengah cuaca yang buruk, segera komunikasikan kepada bagian terkait agar pelaksaan pekerjaan berjalan efektif dan sesuai target rencana.

8. Penyediaan Pemadam Kebakaran

Pastikan bahwa ada pemadam kebakaran yang mudah diakses di tempat kerja ketinggian, terutama jika ada risiko kebakaran. Pastikan juga bahwa alat pemadam kebakaran yang digunakan telah sesuai klasifikasi kebakaran dan penempatannya. Penunjukan petugas pemadam juga penting dilakukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan pemadaman kebakaran.

9. Penerapan Prosedur Darurat

Tetapkan prosedur darurat untuk menanggapi situasi darurat, seperti evakuasi cepat atau penaganan kecelakaan. Prosedur ini harus diuji coba, disosialisasikan dan direview secara berkala agar pelaksanaan tanggap darurat bisa diketahui semua orang, mudah dilaksanakan dan tidak menimbulkan dampak negative lainnya.

10. Komunikasi Efektif

Pastikan ada sistem komunikasi yang efektif antara pekerja yang berada di ketinggian dan mereka yang ada di bawah. Komunikasi juga bisa berupa suara, visual maupun metode lain yang sudah diatur didalam kebijakan perusahaan.

11. Penggunaan Tali Pengaman

Gunakan tali pengaman dan sitem pengaman yang sesuai dengan jenis pekerjaan ketinggian yang dilakukan. Tali pengaman disesuaikan juga berdasarkan beban kerja menyangkut tentang orang, peralatan, dan beban keseluruhan. Pemilihan tali pengaman juga disesuaikan dengan jenis kerjanya, baik itu yang statis maupun yang dinamis.

 

Penting untuk mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang belaku serta mengikuti panduan dari otoritas setempat. Setiap pekerjaan ketinggian harus direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab demi keselamatan semua pekerja yang terlibat.

 

Penulis: Rino Praditya – Tenaga Ahli Ketinggian PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Penyusunan Kebijakan K3

Penyusunan Kebijakan K3

growsafetyinstitute.co.id – Kebijakan K3 merupakan komitmen pimpinan suatu organisasi perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja seluruh personel yang berada di bawah kendali organisasi tersebut serta pihak-pihak yang terkait (relevan) dengan kegiatan operasional perusahaan (organisasi).

Syarat kebijakan K3 berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2012 (pasal 7 ayat 3), kebijakan k3 paling sedikit memuat:

1. Visi Perusahaan

Visi perusahaan dalam kebijakan K3 biasanya mencerminkan komitmen perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Visi ini dapat mencakup tujuan jangka panjang terkait dengan perlindungan kesehatan dan keselamatan karyawan serta pengurangan risiko potensial di tempat kerja.

2. Tujuan Perusahaan

Tujuan perusahaan dalam kebijakan K3 mencakup berbagai aspek yang ditujukan untuk melindungi karyawan, mengurangi risiko kecelakaan kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.

Salah satu tujuan perusahaan dalam kebijakan K3 adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, peningkatan kesejahteraan karyawan serta kinerja K3 dalam perusahaan.

3. Komitmen dan Tekad Melaksanakan Kebijakan

Komitmen dan tekad untuk melaksanakan kebijakan K3 dapat ditunjukkan melalui berbagai tindakan konkret. Berikut adalah beberapa cara bagaimana komitmen tersebut dapat tercermin dalam tindakan nyata:

  • Alokasi Sumber Daya
  • Partisipasi Pemimpin Tertinggi
  • Pengembangan Budaya Keselamatan
  • Komunikasi Terbuka
  • Peninjauan Berkala

4. Kerangka dan Program Kerja

Kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan operasional dalam penerapan Sistem Manajemen K3 di dalam perusahaan.

 

Selain itu, pada lampiran II Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2012 mengenai pedoman penilaian penerapan SMK3 bagian A. Kriteria Audit SMK3, dijelaskan bahwa:

1. Terdapat kebijakan K3 yang tertulis, bertanggal, ditandatangani oleh pengusaha atau pengurus, secara jelas menyatakan tujuan dan sasaran K3 serta komitmen terhadap peningkatan K3.

2. Kebijakan disusun oleh pengusaha dan/atau pengurus setelah melalui proses konsultasi dengan wakil tenaga kerja.

3. Perusahaan mengkomunikasikan kebijakan K3 kepada seluruh tenaga kerja, tamu, kontraktor, pelanggan, dan pemasok dengan tata cara yang tepat.

4. Kebijakan khusus dibuat untuk masalah K3 yang bersifat khusus.

5. Kebijakan K3 dan kebijakan khusus lainnya ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan dalam peraturan perundang-undangan.

 

Dijelaskan juga dalam Kepdirjen Minerba No. 185.K/30/DJB/2019 tentang petunjuk teknis penerapan, penilaian, dan pelaporan SMKP Minerba Lampiran II.C, bahwa penetapan kebijakan mengikuti ketentuan:

1. Tertulis, tertanggal, dan ditandatangani;

2. Disahkan oleh pimpinan tertinggi pemegang IUP, IUPK, IUP operasi produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IPR, danIUJP; dan

3. Bersifat dinamis, yaitu menyesuaikan perubahan yang ada di pemegang IUP, IUPK, IUP operasi produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IPR, dan IUJP.

 

Sedangkan menurut ISO 45001:2018, Klausul 5.2 menyatakan bahwa kebijakan K3 harus:

1. Tersedia sebagai informasi terdokumentasi;

Maka dalam penerapan ISO 45001:2018, perusahaan harus memiliki kebijakan K3 yang terdokumentasi dengan baik.

2. Dikomunikasikan dalam organisasi;

Dalam penyusunan kebijakan K3, perusahaan harus mengkomunikasikan kebijakan tersebut dalam proses penyusunan dan pada saat telah disahkan.

3. Tersedia bagi pihak yang berkepentingan, yang relevan;

Selain disosialisasikan kepada pihak internal, kebijakan juga wajib disediakan oleh perusahaan untuk pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya dalam Company Profilewebsite perusahaan dan disampaikan dalam safety induction.

4. Relevan dan sesuai.

Demi memastikan bahwa kebijakan K3 selalu relevan dan sesuai, maka perusahaan harus melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan yang berlaku secara rutin dan sesegera mungkin ketika ada perubahan dalam konteks organisasi maupun peraturan perundangan.

 

Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bukan hanya merupakan dokumen formal, tetapi juga landasan untuk menciptakan budaya keselamatan yang kuat di dalam organisasi. Organisasi harus terus memantau dan mengevaluasi implementsai kebijakan ini agar dapat memastikan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi semua karyawan.

 

Penulis: Kartika Indira – Tenaga Ahli PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Kesadaran K3 Konstruksi

Kesadaran K3 Konstruksi

growsafetyinstitute.co.id – Penerapan K3 menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemilik perusahaan konstruksi. Dalam hal ini, penerapan K3 dilakukan paling awal sebelum proses pembangunan dilakukan. Dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) akan dibahas mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan gaji, keselamatan, dan kesejahteraan pekerja. Pemilik perusahaan konstruksi harus sepenuhnya sadar mengenai pentingnya K3 dalam proses konstruksi. Disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 bahwa setiap pekerja berhak dan dijamin mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan. Pada pasal 12 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan dan kesehatan kerja, kewajiban dan hak tenaga kerja adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja
  2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan
  3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwadjibkan
  4. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan yang diwadjibkan
  5. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai, pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan

Dalam perencanaan konstruksi, banyak hal yang harus dilakukan dengan matang, salah satunya ialah keselamatan dan kesehatan kerja. Risiko kecelakaan bisa terjadi kapan saja baik kecelakaan ringan, sedang, hingga kecelakaan yang dapat merenggut nyawa pekerja konstruksi. Tidak hanya manusia sebagai pekerja, tetapi juga unsur-unsur lain pendukung proyek konstruksi seperti alat-alat berat dan material. Bidang konstruksi memiliki risiko kecelakaan yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Oleh karena itu, K3 atau keselamatan dan kesehatan kerja harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan proyek konstruksi.

Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja tentunya memiliki kendala-kendala yang biasa dihadapi dalam pelaksanaan PKB mengenai penerapan K3, diantaranya yakni:

  1. Kurangnya pemahaman pekerja mengenai isi PKB
  2. Penanganan keselamatan kerja tidak maksimal
  3. Kebijakan yang tidak tegas

Cara mengatasi kendala pertama tersebut bisa dilakukan dengan pembinaan dan sosialisasi antara perusahaan dengan para pekerja dengan musyawarah. Mengenai kendala kedua, hal tersebut merupakan indikasi bahwa tindakan pencegahan kecelakaan tidak berhasil dilakukan dan harus segera dilakukan perbaikan metode. Untuk solusi permasalahan ketiga, yakni dengan memberikan sanksi kepada pekerja apabila terjadi ketidakdisiplinan pekerja selama bekerja.

Selama proses konstruksi, jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan maka pengawas maupun pekerja hendaknya melakukan upaya persuasif kepada perusahaan konstruksi agar melaksanakan kewajibannya menjamin terkait K3. Apabila upaya tersebut gagal, maka pengawas bisa melapor ke pihak berwenang. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memastikan adanya tindakan perusahan dalam menjamin alat-alat K3 dan sistem manajemen K3 di lokasi konstruksi dengan baik.

Di Indonesia, penerapan K3 dalam proses konstruksi masih terbilang rendah dan minim. Banyak perusahaan yang enggan menerapkan K3 dalam proses konstruksi bangunan karena alasan biaya yang mahal dan keterbatasan. Hal tersebut tentunya sangat timpang dengan undang-undang yang mengatur tentang K3 dimana keselamatan merupakan hak pekerja yang dijamin oleh perusahaan konstruksi. Pada tahun 2018 angka kecelakaan kerja mencapai 173.105 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 123.041 kasus. Dengan data tersebut, terbukti bahwa kesadaran akan pentingnya K3 masih sangat rendah. Oleh karena itu, kita sebagai calon insinyur muda harus memperbaiki keadaan ini dengan mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam dunia konstruksi di masa depan.

 

Penulis: Rino Praditya – Tenaga Ahli K3 Konstruksi PT. GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

×

Hello!

Customer Service Grow Safety Institute siap membantu anda!

× Ada yang bisa saya bantu?