Boiler Subkritis dalam Hubungan dengan PLTU

Boiler Subkritis dalam Hubungan dengan PLTU

Boiler subkritis adalah salah satu jenis boiler yang memiliki peranan penting dalam industri pembangkit listrik tenaga uap. Meskipun mungkin tidak sepopuler boiler superkritis, boiler subkritis memiliki karakteristik dan kegunaan yang tidak boleh diabaikan. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa itu boiler subkritis, bagaimana cara kerjanya, keuntungan dan kelemahannya, serta peran mereka dalam industri energi saat ini.

Apa Itu Boiler Subkritis?

Boiler subkritis adalah jenis boiler yang bekerja di bawah tekanan dan suhu kritis air. Dalam proses pembangkitan listrik tenaga uap, air dipanaskan hingga menjadi uap, yang kemudian digunakan untuk memutar turbin yang menghasilkan listrik. Boiler subkritis beroperasi pada tekanan dan suhu yang lebih rendah daripada boiler superkritis, yang berarti mereka tidak memerlukan material konstruksi yang sekuat dan seketat boiler superkritis. Ini membuatnya menjadi pilihan yang lebih ekonomis dalam hal biaya konstruksi dan pemeliharaan.

Cara Kerja Boiler Subkritis

Boiler subkritis bekerja pada prinsip dasar pemanasan air hingga mencapai fase uap. Air dimasukkan ke dalam boiler di mana energi termal diterapkan untuk meningkatkan suhunya. Seiring suhu air naik, tekanan juga meningkat. Ketika tekanan dan suhu mencapai titik tertentu, air berubah menjadi uap. Uap yang dihasilkan ini kemudian dialirkan ke turbin, di mana energi kinetiknya digunakan untuk memutar generator listrik.

Keuntungan:

  1. Biaya Rendah: Boiler subkritis memerlukan bahan konstruksi yang lebih murah dibandingkan boiler superkritis karena tekanan dan suhu kerjanya lebih rendah.
  2. Fleksibilitas Operasional: Mereka bisa dioperasikan pada berbagai level beban, membuatnya cocok untuk kebutuhan listrik yang bervariasi.
  3. Pemeliharaan Mudah: Dengan tekanan dan suhu kerja yang lebih rendah, pemeliharaan dan perawatan boiler subkritis relatif lebih mudah dan murah.

Kelemahan:

  1. Efisiensi Rendah: Boiler subkritis cenderung memiliki efisiensi termal yang lebih rendah dibandingkan dengan boiler superkritis karena mereka tidak dapat mencapai suhu dan tekanan yang sama.
  2. Keterbatasan Kapasitas: Mereka memiliki keterbatasan dalam kapasitas pembangkitan listrik jika dibandingkan dengan boiler superkritis.

Peran dalam Industri Pembangkitan Energi Listrik

Salah satu contoh PLTU yang menggunakan boiler subkritis adalah PLTU batubara skala besar. Meskipun tidak semua PLTU batubara menggunakan boiler ini, beberapa PLTU yang lebih baru atau yang telah mengalami upgrade mungkin telah beralih ke teknologi subkritis. Ini karena boiler subkritis dapat menawarkan efisiensi yang lebih tinggi dalam memanfaatkan energi batubara, serta meminimalkan dampak lingkungan.

Gambar 1. Contoh Boiler Subkritis pada Komplek PLTU Paiton, Probolinggo
Contoh Boiler Subkritis pada Komplek PLTU Paiton, Probolinggo

Namun, perlu diingat bahwa pilihan untuk menggunakan boiler subkritis atau tidaknya adalah bergantung pada berbagai pertimbangan teknis, ekonomi, dan lingkungan. Beberapa PLTU mungkin memilih untuk tetap menggunakan boiler superkritis atau bahkan teknologi lainnya yang lebih maju, tergantung pada kebutuhan spesifik dan kondisi lokal.

Secara umum, meskipun boiler subkritis menawarkan beberapa keuntungan, termasuk keselamatan yang lebih baik dan biaya operasional yang lebih rendah, keputusan untuk mengadopsi teknologi ini bergantung pada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh perusahaan energi dan operator PLTU.

Dalam kesimpulannya, boiler subkritis adalah komponen penting dalam pembangkit listrik tenaga uap yang layak diperhitungkan. Meskipun mungkin tidak sekuat atau seefisien boiler superkritis, mereka tetap menjadi pilihan yang relevan terutama dalam konteks pembangkit listrik skala menengah dan kecil. Dengan keseimbangan antara biaya konstruksi, operasional, dan pemeliharaan, boiler subkritis terus menjadi bagian integral dari infrastruktur energi global.

 

Penulis: Ahmad Nur Hasybi – Tenaga Ahli PUBT PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Penanganan Material secara Manual: Membawa

Penanganan Material secara Manual: Membawa

growsafetyinstitute.co.id – Aktivitas penanganan material secara manual terdiri dari mengangkat dan menurunkan, mendorong dan menarik, memutar, membawa serta menahan. Aktivitas Manual Material Handling (MMH)  lebih disukai oleh pekerja karena fleksibel dan mudah dilakukan. MMH memiliki potensi yang besar terhadap kecelakaan kerja jika tidak dilakukan secara tepat dan benar. Ketepatan MMH jika dilakukan di lingkungan yang baik dengan dukungan alat bantu yang memadai, serta yang melakukan aktivitasnya dengan sikap kerja yang benar. Kurang tepatnya MMH berdampak pada gangguan muskuloskeletal. Berbagai survei menunjukkan bahwa MMH merupakan jenis pekerjaan yang dikategorikan sebagai penyebab utama gangguan muskuloskeletal.

Membawa merupakan aktivitas memindahkan benda dari suatu tempat ke tempat lain. Aktivitas membawa dipengaruhi oleh berat benda dan frekuensi pemindahan. Semakin tinggi frekuensi membawa barang yang berat, maka tingkat risiko semakin tinggi. Panduan berat beban/frekuensi aktivitas membawa ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik berat beban/frekuensi untuk operasi pengangkatan (HSE, 2014)
Gambar 1. Grafik berat beban/frekuensi untuk operasi pengangkatan (HSE, 2014)

Pada Gambar 1. dijelaskan tentang empat kategori area yaitu hijau, kuning, merah, dan ungu. Penjelasan setiap area adalah:

  1. Area warna hijau dengan kode G (Green) = 0 merupakan kategori membawa yang aman;
  2. Area warna kuning sawo dengan kode A (Amber) = 4 masih dalam kondisi aman namun perlu mendapat pengawasan;
  3. Area warna merah dengan kode R (Red) = 6 dalam kondisi berbahaya harus dihindari;
  4. Area warna ungu dengan kode P (Purple) = 10 kategori pekerjaan yang sangat berbahaya dan diperlukan pengawasan sangat ketat karena berpotensi risiko cedera serius.

Grafik pada Gambar 1. menjelaskan bahwa membawa dalam kondisi aman, jika berat benda sekitar 15 kg dengan 300 kali membawa/jam. Berat benda antara 15-18 kg, frekuensi membawa dua kali sampai dengan 60 kali per jam. Untuk berat benda 20 kg, frekuensi membawa 2 kali per jam. Dengan demikian membawa lebih dari 20 kg diperlukan pengawasan. Membawa benda yang harus dihindari yang masuk dalam area merah yaitu membawa ±38 kg dengan frekuensi dua kali per jam, membawa ±33 kg dengan frekuensi 12 kali per jam, membawa 30 kg dengan frekuensi 30 sampai dengan 60 kali per jam, dan membawa 25 kg jika dengan frekuensi tinggi.

Faktor yang Perlu Diperhatikan

Faktor penting yang perlu diperhatikan pada aktivitas membawa adalah keseimbangan benda yang dibawa. Benda yang dipindahkan dianjurkan simetris dengan tulang belakang. Gambar di bawah ini menjelaskan tentang tiga kategori membawa yang aman, perlu perhatian dan yang tidak dianjurkan. Konsep membawa yang aman apabila benda dan tangan simetris pada depan tulang belakang. Jika benda dan tangan asimetris dengan posisi tubuh tegak, maka diperlukan pengawasan. Membawa yang tidak dianjurkan apabila salah satu tangan membawa benda pada satu sisi.

Panduan manajemen membawa yang aman menurut Cal/OSHA Consultation Service (2007), antara lain:

  1. Rencanakan aliran kerja untuk mengurangi membawa yang tidak perlu
  2. Jika memungkinkan lakukan dengan meluncurkan, mendorong atau menggulung
  3. Mengorganisir kerja supaya kecepatan kerja dan kebutuhan fisik meningkat perlahan
  4. Kurangi jarak perpindahan beban seminimal mungkin. Jika jarak perpindahan jauh, gunakan peralatan
  5. Mengurangi jarak supaya beban yang dipindahkan minimum.
  6. Untuk beban tidak stabil dan berat:
    1. Menandai beban untuk mengingatkan pekerja.
    2. Uji kestabilan dan berat beban sebelum membawa beban.
    3. Gunakan peralatan mekanik untuk membawa atau memindahkan beban.
    4. Menurunkan berat beban dengan: Menaruh benda di container lebih sedikit, gunakan kontainer yang kecil dan atau lebih ringan, dan Membagi beban menjadi dua kontainer dan membawa dengan kedua tangan.
    5. Mengemas ulang kontainer agar isinya tidak bergeser dan berat dapat diseimbangkan.
    6. Gunakan tim untuk mengangkat sebagai langkah awal untuk benda berat atau besar
  7. Mengurangi frekuensi mengangkat dan jumlah waktu pekerja untuk aktivitas membawa dengan:
    1. Melakukan rotasi pekerja yang melakukan aktivitas membawa dengan pekerja yang tidak melakukan aktivitas membawa.
    2. Memiliki alternatif pekerja untuk tugas membawa dengan pekerja yang tidak dengan tugas membawa.

 

Referensi Buku:

Manual Handling at Work ‘A Brief Guide’
Ergonomic Guidelines for Manual Material Handling
Manual Material Handling

Penulis: Kartika Indira (Tenaga Ahli PT GSI Selamat Indonesia)
Editor: Dinda Putri Azizah

K3 dalam Sektor Batu Bara

K3 dalam Sektor Batu Bara

growsafetyinstitute.co.id – Sektor batu bara merujuk pada kegiatan eksploitasi, pengolahan, dan pemanfaatan batu bara. Batu bara adalah salah satu sumber daya alam yang paling banyak digunakan di dunia untuk memproduksi energi, terutama dalam pembangkit listrik dan industri. Berikut adalah beberapa aspek yang terkait dengan sektor batu bara:

1. Eksplorasi dan Eksploitasi

  • Eksplorasi: Proses mencari dan mengevaluasi potensi lokasi penambangan batu bara.
  • Eksploitasi: Kegiatan penambangan batu bara dari tambang, baik itu tambang terbuka maupun tambang bawah tanah.

2. Pengolahan dan Pemurnian

  • Batu bara yang dieksploitasi biasanya memerlukan proses pengolahan untuk memisahkan kotoran dan menghasilkan produk yang sesuai dengan standar tertentu.
  • Pemurnian melibatkan penghilangan kandungan tidak diinginkan seperti sulfur dan abu.

3. Transportasi

Batu bara sering diangkut melalui berbagai metode, termasuk kapal, kereta api, truk, dan konveyor, dari lokasi penambangan ke fasilitas pengolahan atau pembangkit listrik.

4. Pemanfaatan

  • Batu bara digunakan sebagai bahan bakar utama dalam pembangkit listrik termal untuk menghasilkan listrik.
  • Juga digunakan sebagai bahan baku dalam industri seperti pembuatan baja dan kimia.

5. Industri Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara

  • Pembangkit listrik tenaga batu bara menggunakan batu bara sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi listrik.
  • Proses ini melibatkan pembakaran batu bara yang menghasilkan panas untuk menghasilkan uap yang digunakan untuk memutar turbin yang menggerakkan generator listrik.

6. Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Seperti yang dibahas sebelumnya, keselamatan dan kesehatan kerja sangat penting dalam sektor batu bara untuk melindungi pekerja dari risiko dan bahaya yang terkait dengan kegiatan eksploitasi dan pengolahan batu bara.

7. Isu Lingkungan

  • Proses pembakaran batu bara dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca dan polutan udara yang menjadi isu lingkungan.
  • Penanganan limbah batu bara dan upaya untuk mengurangi dampak lingkungan juga menjadi fokus dalam industri ini.

8. Ketahanan Lingkungan

Munculnya tren menuju energi terbarukan dan keberlanjutan telah menekankan pentingnya mengembangkan praktik yang lebih ramah lingkungan dalam sektor batu bara, seperti pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Sektor batu bara merupakan komponen penting dalam perekonomian banyak negara, tetapi juga menimbulkan tantangan terkait dampak lingkungan dan sosialnya. Oleh karena itu, pengelolaan yang berkelanjutan dan tanggung jawab sosial semakin menjadi perhatian dalam sektor ini.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di sektor batu bara sangat penting untuk melindungi pekerja dari potensi risiko dan bahaya yang terkait dengan eksploitasi, pengolahan, dan penggunaan batu bara. Berikut adalah beberapa langkah dan praktik yang biasanya diterapkan dalam upaya menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja di sektor batu bara:

1. Penilaian Risiko

  • Melakukan penilaian risiko untuk mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja.
  • Menentukan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko.

2. Pelatihan dan Pendidikan

  • Memberikan pelatihan kepada pekerja tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang mencakup identifikasi risiko, tata cara penggunaan peralatan, dan tindakan darurat.
  • Menyediakan informasi tentang potensi bahaya yang terkait dengan eksploitasi batu bara.

3. Peralatan Pelindung Diri (APD)

Memastikan pekerja dilengkapi dengan APD yang sesuai, seperti helm, sepatu pelindung, masker, dan perlengkapan pelindung lainnya sesuai dengan risiko di tempat kerja.

4. Pemantauan Kesehatan

Melakukan pemeriksaan kesehatan rutin untuk pekerja yang terpapar potensi risiko kesehatan akibat paparan debu batu bara atau zat kimia berbahaya lainnya.

5. Pengendalian Debu

  • Menggunakan peralatan dan teknologi untuk mengendalikan debu batu bara di tempat kerja.
  • Menyediakan ventilasi yang memadai untuk mengurangi konsentrasi debu di udara.

6. Pencegahan Kebakaran dan Ledakan

  • Memiliki sistem pemadam kebakaran yang efektif.
  • Mengimplementasikan prosedur keamanan untuk mengurangi risiko kebakaran dan ledakan.

7. Evakuasi dan Pertolongan Pertama

  • Menyusun rencana evakuasi yang jelas dan melatih pekerja dalam prosedur evakuasi darurat.
  • Menyediakan fasilitas pertolongan pertama dan melatih pekerja dalam tindakan pertolongan pertama.

8. Komitmen Manajemen

  • Memastikan komitmen manajemen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
  • Melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan terkait K3.

9. Audit dan Pemantauan

  • Melakukan audit rutin terhadap program K3 untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan.
  • Melakukan pemantauan secara berkala terhadap lingkungan kerja dan kondisi kesehatan pekerja.

10. Pelaporan dan Investigasi Insiden

  • Mendorong pelaporan insiden atau hampir insiden segera.
  • Melakukan investigasi menyeluruh untuk memahami penyebab insiden dan mencegah terulangnya kejadian serupa.

Keselamatan dan kesehatan kerja yang baik di sektor batu bara memerlukan keterlibatan semua pihak, termasuk manajemen, pekerja, dan pihak terkait lainnya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat.

 

Penulis: Rino Praditya – Tenaga Ahli PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Alat Berat: Jenis dan Fungsinya

Alat Berat: Jenis dan Fungsinya

growsafetyinstitute.co.id – Eksistensi alat berat dalam proyek-proyek dewasa ini baik proyek konstruksi maupun proyek manufaktur sangatlah penting guna menunjang pemerintah, baik dalam pembangunan infrastruktur maupun dalam eksplor hasil-hasil tambang, misalnya semen dan batu bara. Keuntungan-keuntungan dengan menggunakan alat-alat berat antara lain waktu yang sangat cepat, tenaga yang besar dan nilai-nilai ekonomis.

Penggunaan alat berat yang kurang tepat dengan kondisi dan situasi lapangan pekerjaan akan berpengaruh berupa kerugian, anatara lain rendahnya produksi, tidak tercapainya jadwal atau target yang telah ditentukan atau kerugian biaya perbaikan yang tidak semestinya. Oleh karena itu, sebelum menentukan tipe dan jumlah peralatan dan attachment-nya sebaiknya dipahami terlebih dahulu fungsi dan aplikasinya.

Berikut macam-macam alat berat beserta fungsinya, agar dapat dipahami dalam penggunaannya.

1. Pengertian Alat-Alat Berat

Alat-alat berat (yang sering dikenal di dalam ilmu Teknik Sipi) merupakan alat yang digunakan untuk membantu manusia dalam melakukan pekerjaan pembangunan suatu struktur bangunan. Alat berat merupakan faktor penting di dalam proyek, terutama proyek-proyek konstruksi maupun pertambangan dan kegiatan lainnya dengan skala yang besar.

Tujuan dari penggunaan alat-alat berat tersebut adalah untuk memudahkan manusia dalam mengerjakan pekerjaannya, sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan lebih mudah dengan waktu yang relatif lebih singkat.

Alat berat yang umum dipakai dalam proyek kontruksi antara lain:

  • Dozer,
  • Alat gali (excavator) seperti backhoefront shovelclamshell;
  • Alat pengangkut seperti loadertruck dan conveyor belt;
  • Alat pemadat tanah seperti roller dan compactor, dan lain-lain.

2. Klasifikasi Alat-Alat Berat

Alat berat juga dapat dikategorikan ke dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi tersebut adalah klasifikasi fungsional alat berat dan klasifikasi operasional alat berat.

  • Klasifikasi Fungsional Alat Berat

Yang dimaksud dengan klasifikasi fungsional alat adalah pembagian alat tersebut berdasarkan fungsi-fungsi utama alat. Berdasarkan fungsinya alat berat dapat dibagi atas berikut ini:

a. Alat Pengolah Lahan

Kondisi lahan proyek kadang-kadang masih merupakan lahan asli yang harus dipersiapkan sebelum lahan tersebut mulai diolah. Jika pada lahan masih terdapat semak atau pepohonan maka pembukaan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan dozer. Untuk pengangkatan lapisan tanah paling atas dapat digunakan scraper. Sedangkan untuk pembentukan permukaan supaya rata selain dozer dapat digunakan juga motor grader.

b. Alat Penggali

Jenis alat ini dikenal juga dengan istilah excavator. Beberapa alat berat digunakan untuk menggali tanah dan batuan. Yang termasuk didalam kategori ini adalah front shovel, backhoe, dragline dan clamshell.

c. Alat Pengangkut Material

Crane termasuk di dalam kategori alat pengangkut material, karena alat ini dapat mengangkut material secara vertical dan kemudian memindahkannya secara horizontal pada jarak jangkau yang relatif kecil. Untuk pengangkutan material lepas (loose material) dengan jarak tempuh yang relatif jauh, alat yang digunakan dapat berupa belt, truck, dan wagon. Alat-alat ini memerlukan alat lain yang membantu memuat material ke dalamnya.

d. Alat Pemindahan Material

Yang termasuk dalam kategori ini adalah alat yang biasanya tidak digunakan sebagai alat transportasi tetapi digunakan untuk memindahkan material dari satu alat ke alat yang lain. Loader dan dozer adalah alat pemindahan material.

e. Alat Pemadat

Jika pada suatu lahan dilakukan penimbunan maka pada lahan tersebut perlu dilakukan pemadatan. Pemadatan juga dilakukan untuk pembuatan jalan, baik untuk jalan tanah dan jalan dengan perkerasan lentur maupun perkerasan kaku. Yang termasuk sebagai alat pemadat alah tamping roller, pneumatic tired roller, compactor, dan lain-lain. Pekerjaan pembuatan landasan pesawat terbang, jalan raya, tanggul sungai dan sebagainya, tanah perlu dipadatkan semaksimal mungkin. Pekerjaan pemadatan tanah dalam skala kecil pemadatan tanah dapat dilakukan dengan cara menggenangi dan membiarkan tanah menyusut dengan sendirinya, namun cara ini perlu waktu lama dan hasilnya kurang sempurna; agar tanah benar-benar mampat secara sempurna diperlukan cara-cara mekanis untuk pemadatan tanah. Pemadatan tanah secara mekanis umumnya dilakukan dengan menggunakan mesin penggilas (roller).

f. Alat Pemroses Material

Alat ini dipakai untuk mengubah batuan dan mineral alam menjadi suatu bentuk dan ukuran yang diinginkan. Hasil dari alat ini misalnya adalah batuan bergradasi, semen, beton, dan aspal. Yang termasuk dalam alat ini adalah crusher dan concrete mixer truck. Alat yang dapat mencampur material-material di atas juga dikategorikan ke dalam alat pemroses material seperti concretebatch plant dan asphalt mixing plant.

g. Alat Penempatan  Akhir Material

Alat digolongkan pada kategori ini karena fungsinya yaitu untuk menempatkan material pada tempat yang telah ditentukan. Di tempat atau lokasi ini, material disebarkan secara merata dan dipadatkan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah concrete spreader, asphalt paver, motor grader, dan alat pemadat.

Tindakan pencegahan kecelakaan perlu diperhatikan untuk semua proses pekerjaan termasuk pekerjaan Pesawat Angkat dan Pesawat Angkut ini. Oleh sebab itu, pekerjaan pengangkatan dan pengangkutan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar pekerjaan tetap aman dan selamat.

 

Penulis: Rino Praditya – Tenaga Ahli K3 Konstruksi PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Evolusi Alat Pemadam Api: Fire Ball Extinguisher

Evolusi Alat Pemadam Api: Fire Ball Extinguisher

growsafetyinstitute.co.id – Keselamatan dari kebakaran adalah aspek kritis di berbagai lingkungan, baik itu di rumah, tempat kerja, atau pabrik. Seiring berkembangnya zaman, sistem proteksi kebakaran mengalami perkembangan dengan inovasi yang terus tercipta. Salah satunya adalah alat pemadam api bola atau fire ball extinguisher. Sistem proteksi ini memiliki beberapa keuntungan dan juga memiliki kekurangan yang akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini.

Konsep alat pemadam bola api memiliki akar sejarahnya dalam metode pemadam kebakaran kuno. Mulai dari menggunakan pasir dan air hingga larutan kimia, manusia terus mencari cara yang lebih efisien untuk memerangi kebakaran. Kemunculan alat pemadam bola mewakili kemajuan dalam upaya ini.

Alat pemadam bola api berbentuk prangkat sferis yang diisi dengan bubuk atau media pemadam api lainnya. Media pemadam biasanya berisi bubuk kimia kering, mono amonium fosfat, atau kalium bikarbonat. Kulit luar biasanya terbuat dari bahan stereofoam atau polyethylene yang dapat menahan panas dan tekanan pada rating tertentu.

Pemadam diaktifkan oleh sumbu yang terpantik oleh api, kemudian akan memberikan pemantik pada detonator untuk meledakkan alat pemadam. Setelah itu, alat pemadam api bola melepaskan media pemadam ke segala arah dengan radius maksimal 2-3 meter.

Perlu diketahui bahwa media pemadam jenis ini belum memiliki standar yang mengatur teknisnya di Indonesia maupun standar Internasional. Akan tetapi, alat pemadam api bola sudah terdapat beberapa yang lolos sertifikasi kelayakan penggunaan untuk pemadaman oleh lembaga terakreditasi.

Fire Ball Extinguisher

Salah satu keuntungan utama dari alat pemadam bola api adalah kesederhanaan dalam aktivasi. Ketika kebakaran terjadi, pengguna dapat mengarahkan bola api secara manual ke arah api atau memasangnya di lokasi strategis. Dalam kasus kebakaran, perangkat ini akan aktif sescara otomatis, melepaskan media pemadam api dalam radius tertentu saja. Bubuk yang dilepaskan menciptakan penghalang yang menekan api dengan menghilangkan oksigen dan menghentikan proses pembakaran.

Bentuk bulat memungkinkan pemadam mencapai area yang mungkin sulit dijangkau oleh pemadam api tradisional (pasir, baking soda, dan sebagainya). Alat pemadam ini sangat fleksibel dan dapat digunakan di berbagai kondisi, termasuk rumah, kantor, gudang, dan kendaraan. Ukurannya yang kompak dan kemudahan penggunaannya membuatnya dapat diakses oleh individu tanpa pelatihan khusus dalam pemadam kebakaran, memberdayakan siapapun untuk bertindak dengan cepat dalam keadaan darurat kebakaran.

Banyak alat pemadam bola api menggunakan media pemadam ramah lingkungan yang meminimalkan kerusakan pada lingkungan sekitarnya dan notabene memiliki komposisi yang hampir sama dengan APAR. Berbeda dengan beberapa bahan pemadam kebakaran tradisional, pemadam ini tidak meninggalkan residu atau prosuk sampingan berbahaya, menjadikannya pilihan yang lebih berkelanjutan untuk keselamatan dari kebakaran.

Meskipun alat pemadam bola api menawarkan banyak keuntungan, penting untuk mengatasi tantangan potensial. Alat pemadam api bola ini lebih disarankan untuk membantu proses pemadaman saja. Hal demikian dikarenakan oleh beberapa hal seperti arah semburan media pemadam yang ke segala arah sehingga masih ada potensi untuk gagal memadamkan api (tidak tepat sasaran), terlebih lagi siapa saja bisa menggunakan, maka penggunaan alat pemadam ini bisa memiliki potensi kesalahan dalam arah penggunaannya.

Berbeda dengan APAR, alat pemadam api bola hanya mengeluarkan media pemadaman secara instaneous atau sesaat saja, sedangkan APAR memiliki durasi lebih lama dalam penggunaan dan bersifat continuous sampai gas pendorong APAR habis sehingga lebih efektif dalam memadamkan api kebakaran.

Maka dari itu, sebaiknya dalam memasang sistem proteksi kebakaran untuk tahap awal yang utama digunakan adalah APAR kemudian kita bisa menggunakan alat pemadam api bola sebagai tambahan dalam membantu pemadam, sehingga alat pemadam api bola ini tidak menggantikan fungsi dari APAR.

Dalam ranah keselamatan dari kebakaran, alat pemadam bola api telah muncul sebagai aset berharga. Seiring kita terus memberikan proritas pada keselamatan, evolusi teknologi pemadam kebakaran, yang diwakili oleh alat pemadam bola api dapat menjalankan peran penting dalam membantu proses penanggulangan kebakaran pada lingkungan kita.

 

Penulis: Ahmad Nur Hasybi – Tenaga Ahli K3 Kebakaran PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Penanganan Material secara Manual: Mengangkat

Penanganan Material secara Manual: Mengangkat

growsafetyinstitute.co.id – Penanganan material secara manual atau Manual Material Handling (MMH) merupakan aktivitas yang melibatkan penggunaan tenaga manusia. Aktivitas ini merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Aktivitas penanganan material secara manual ini sering kita lihat dalam pekerjaan pertukangan, bongkar muat barang, aktivitas di pasar dan kegiatan-kegitatan bisnis lainnya. Aktivitas ini melibatkan berbagai kegiatan, seperti mengangkat, mendorong, menarik, atau menggendong material tanpa menggunakan alat bantu mekanis.

Penanganan material secara manual memiliki kelebihan, yaitu fleksibilitas gerakan yang dilakukan. Namun, kelebihan ini juga menjadi kekurangannya, yaitu dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja. Aktivitas penanganan material secara manual memiliki potensi kecelakaan yang tinggi, karena terjadi kontak langsung antara beban dan tubuh manusia. Beban yang tinggi pada otot dan sistem skeletal dapat menyebabkan kelelahan otot, terutama pada otot leher dan tulang belakang, serta bagian tubuh lainnya. Selain itu, postur kerja yang tidak ergonomis dan beban yang besar dapat menyebabkan cedera tulang belakang.

Pengangkatan secara manual apabila tidak dilakukan secara ergonomis akan menimbulkan kecelakaan. Kecelakaan kerja yang terjadi karena kerusakan jaringan tubuh yang diakibatkan oleh kelebihan beban angkat. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan, baik menyangkut kemampuan pengamatan kognitif, fisik, maupun psikologis.

Dalam sistem kerangka manusia terdapat beberapa titik rawan, yaitu pada ruat tulang leher, ruas tulang belakang dan pada pangkal paha. Titik pada ruas tulang belakang khususnya antara ruas lumbar ke-5 dan sacrum ke-1 (L5/S1), merupakan titik yang paling rawan terhadap kecelakaan kerja, karena pada titik tersebut terdapat disk (selaput yang berisi cairan) yang berfungsi untuk meredam pergerakan antar ruas. Jika tekanan yang diakibatkan pengangkatan beban kerja melebihi Maximum Permissible Limit (MPL) sebagai batas angkat maksimum, maka akan menyebabkan pecahnya disk tersebut sehingga manusia akan mengalami kelumpuhan.

Aktivitas mengangkat sangat dipengaruhi oleh beban yang diangkat dan frekuensi pengangkatan material. Semakin berat benda yang diangkat dan semakin tinggi frekuensinya semakin berisiko terhadap cedera dan kecelakaan kerja. Berikut adalah grafik kategori pengangkatan berdasarkan berat dan frekuensi pengangkatan:

Gambar 1. Grafik berat beban/frekuensi untuk operasi pengangkatan (HSE, 2014)

Pada Gambar 1. ditunjukkan dalam empat kategori warna yaitu hijau, kuning, merah, dan ungu. Penjelasan setiap area adalah:

  1. Area warna hijau dengan kode G (Green) = 0 merupakan kategori pengangkatan yang aman;
  2. Area warna kuning sawo dengan kode A (Amber) = 4 masih dalam kondisi aman namun perlu mendapat pengawasan;
  3. Area warna merah dengan kode R (Red) = 6 dalam kondisi berbahaya harus dihindari;
  4. Area warna ungu dengan kode P (Purple) = 10 kategori pekerjaan yang sangat berbahaya dan diperlukan pengawasan sangat ketat karena berpotensi risiko cedera serius.

Pada saat mengangkat beban, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu beban yang diangkat dan sikap mengangkat. Posisi mengangkat yang aman adalah dengan lengan atas sejajar dan lurus dengan tulang belakang. Posisi ini dapat membantu menjaga keseimbangan tubuh dan mengurangi tekanan pada otot dan tulang belakang.

Posisi mengangkat yang moderat adalah dengan lengan atas membentuk sudut agak lebar dari tubuh atau mengangkat dengan posisi membungkuk. Posisi ini dapat meningkatkan risiko cedera, tetapi masih dapat dilakukan dengan aman jika beban yang diangkat tidak terlalu berat.

Posisi mengangkat yang berbahaya adalah dengan lengan atas membentuk sudut yang besar dengan posisi tubuh membungkuk sangat dalam. Posisi ini dapat menyebabkan cedera serius, bahkan kelumpuhan.

Pengetahuan tentang teknik pengangkatan sangat diperlukan bagi setiap pekerja untuk menghindari cedera. Gambar 5. merupakan teknik pengangkatan yang dianjurkan.

Gambar 5. Teknik mengangkat (Modifikasi dari NIOSH, 1998)

Teknik mengangkat seperti ditunjukkan pada Gambar 5. menjelaskan bahwa pengangkatan secara aman, jika dilakukan dengan gerakan vertikal (tidak membungkuk) dan benda menempel pada tubuh. Secara umum faktor-faktor yang perlu diperhatikan aktivitas mengangkat adalah:

  1. Hindari mengangat benda dari lantai. jika beban harus diangkut dari permukaan lantai maka dianjurkan menggunakan alat mekanis.
  2. Benda yang diangkat ringan sampai sedang dan mudah disesuaikan diantara lutut.
  3. Benda yang diangkat harus sedekat mungkin dengan tubuh (menempel).
  4. Posisi punggung tegak lurus, pada saat mengangkat tumpuan pembebanan pada kaki dan mengurangi pembebanan pada tulang punggung.
  5. Hindari mengangkat dengan tiba-tiba, pengangkatan dilakukan pengangkatan dilakukan dilakukan pelan-pelan dengan memposisikan kekuatan pada tumpuan kaki.
  6. Tangan memegang benda dalam posisi yang aman dengan memegang penuh, tidak menggunakan jari yang dapat menyebabkan ketegangan lokal.

Selain teknik mengangkat secara ergonomis, ada pula teknik membawa secara ergonomis yang akan dibahas pada artikel berikutnya.

 

Referensi Buku:

Manual Handling at Work ‘A Brief Guide’
Occupational Noise Exposure
Manual Material Handling

 

Penulis: Kartika Indira – Tenaga Ahli PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

K3 Kebakaran dalam Industri Tekstil

K3 Kebakaran dalam Industri Tekstil

growsafetyinstitute.co.id – Industri tekstil, dengan segala kompleksitasnya, melibatkan berbagai risiko yang memerlukan perhatian khusus terutama dalam hal keselamatan terhadap kebakaran. Kebakaran dapat menyebabkan kerugian besar, baik dari segi kemanusiaan maupun dari aspek aset perusahaan. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang berkaitan dengan kebakaran di industri tekstil dan langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil.

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP/186/MEN/1999, industri tekstil merupakan klasifikasi Bahaya Kebakaran Sedang II. Hal ini disebabkan karena dalam pabrik atau industri tekstil memiliki bahaya serat benang yang beterbangan. Maka, untuk dapat memastikan kondisi lingkungan kerja yang aman perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya:

1. Identifikasi Risiko Kebakaran di Tempat Kerja

Langkah pertama untuk mengatasi risiko kebakaran adalah dengan mengidentifikasi potensi bahaya. Proses produksi tekstil sering melibatkan penggunaan bahan kimia, peralatan pemanas, dan proses panas lainnya yang dapat menyebabkan kebakaran. Perusahaan harus secara sistematis menilai setiap tahap produksi untuk mengidentifikasi sumber potensial kebakaran. Selain itu, perlu adanya pengendalian terhadap residu maupun raw material yang memiliki serat benang halus yang notabene bukan lagi menyebabkan kebakaran, melainkan penyebab peledakan (dust explosion).

Kemudian yang dapat dilakukan adalah mempelajari Material Safety Data Sheet (MSDS) dari penggunaan cat pada pabrik. Hal ini supaya kita dapat mengetahui media pemadam apa dan bagaimana cara pemadamannya. Kita juga dapat mempelajari data informasi kebakaran lainnya seperti flash pointauto ignition temperature, dan flammable range.

2. Peralatan Keselamatan dan Proteksi Kebakaran

Pemeliharaan peralatan keselamatan dan proteksi kebakaran sangat penting. Pemasangan dan pemeliharaan sistem deteksi asap, sprinkler, dan peralatan pemadam kebakaran harus dilakukan secara teratur. Pekerja juga harus dilatih untuk menggunakan peralatan tersebut dengan benar dalam situasi darurat. Selain itu, pengadaan sistem sirkulasi udara yang baik sangat membantu dalam proses pencegahan kebakaran dan peledakan. Kembali lagi, hal tersebut untuk menghindari combustible dust dari serat benang dan flammable range dari cat yang notabene adalah bahan mudah terbakar.

3. Pelatihan dan Simulasi Kebakaran

Pelatihan pekerja dalam menghadapi kebakaran sangat krusial. Hal ini disebabkan karena di mayoritas tenaga kerja pabrik tekstil memiliki tingkat pemahaman yang rendah terhadap terjadinya kecelakaan kerja termasuk kebakaran. Terlebih lagi, sebagai besar tenaga kerjanya adalah perempuan. Dalam hal tanggap darurat, kesiagaan melalui sesi pelatihan dan simulasi kebakaran, pekerja dapat mengasah keterampilan evakuasi darurat, penggunaan alat pemadam kebakaran, dan tindakan yang harus diambil dalam situasi kritis. Kesadaran pekerja tentang prosedur darurat dapat mengurangi dampak dan kerugian yang mungkin terjadi.

4. Pengelolaan Bahan Kimia dengan Aman

Industri tekstil sering menggunakan bahan kimia yang mudah terbakar. Pengelolaan yang tepat dan penyimpanan yang aman dari bahan-bahan ini dapat mengurangi risiko kebakaran. Penyimpanan yang salah atau tidak tepat dapat meningkatkan kemungkinan kebakaran dan bahkan ledakan. Untuk itu, biasanya digunakan gudang penyimpanan khusus untuk Bahan Kimia Berbahaya (BKB) dengan beberapa peralatan penanggulangan kebakaran yang memadai. Selain itu, kita juga dapat memberikan secondary containment untuk mencegah terjadinya perluasan tumpahan dari BKB yang disimpan.

5. Desain dan Tata Letak Pabrik yang Aman

Kebanyakan industri atau pabrik tekstil di antara pemukiman warga. Sehingga, apabila terjadi kebakaran, maka bisa jadi kebakaran tersebut akan berdampak ke pemukiman warga. Desain pabrik dan tata letak yang baik dapat membantu mencegah penyebaran kebakaran seperti misalnya memberi tembok atau dinding api yang membatasi wilayah parbik. Selain itu, memastikan bahwa jalur evakuasi tidak terhalang, adanya area pemadaman darurat, dan pembatasan perpindahan api dapat menjadi langkah-langkah kunci dalam merancang pabrik yang aman dari kebakaran dan dapat meminimalisir kerugian jiwa.

6. Evaluasi dan Pemantauan Rutin Sistem Proteksi Kebakaran

Penting untuk secara rutin mengevaluasi dan memantau keefektifan sistem proteksi kebakaran dan pencegahan kebakaran. Tes sistem deteksi kebakaran, pemeliharaan peralatan pemadam kebakaran, dan peninjauan rutin pada prosedur evakuasi merupakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua sistem berfungsi dengan baik.

7. Kebijakan Evakuasi yang Jelas dan Dikomunikasikan

Kebijakan evakuasi yang jelas dan dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh pekerja sangat penting. Pekerja harus mengetahui rute evakuasi, titik pertemuan, dan langkah-langkah yang harus diambil dalam keadaan darurat. Komunikasi yang baik dapat menghindari kepanikan dan memastikan evakuasi yang efisien. Untuk itu, perlu adanya buku tanggap darurat di setiap Perusahaan tidak terkecuali pada pabrik tekstil. Dengan adanya buku tanggap darurat, kita dapat mengetahui informasi dan eskalasi kemungkinan terjadinya tanggap darurat termasuk kebakaran. Selain dibuat, buku tanggap darurat juga seharusnya diimplementasikan yaitu dengan mengadakan simulasi menggunakan skenario yang terdapat dalam buku tanggap darurat. Dengan begitu, kualitas kesadaran dan respon tenaga kerja ketika menghadapi tanggap darurat kebakaran akan lebih optimal lagi.

K3 dalam industri tekstil tidak dapat dipisahkan dari upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Langkah-langkah pencegahan ini bukan hanya untuk melindungi aset perusahaan tetapi juga untuk memastikan keselamatan pekerja. Dengan menerapkan praktik K3 yang baik, memberikan pelatihan yang memadai, dan menjaga peralatan kebakaran dengan baik, industri tekstil dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mengurangi risiko kebakaran yang dapat mengancam kesejahteraan pekerja dan kelangsungan operasional perusahaan.

 

Penulis: Ahmad Nur Hasybi – Tenaga Ahli Kebakaran PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Prinsip K3 dalam Pekerjaan Ketinggian

Prinsip K3 dalam Pekerjaan Ketinggian

growsafetyinstitute.co.id – Pekerjaan ketinggian, mengacu pada kegiatan yang dilakukan pada ketinggian tertentu di atas permukaan tanah, K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sangat penting dalam pekerjaan ketinggian untuk menghindari risiko dan kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan pekerja.

Berikut adalah beberapa prinsip K3 yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan ketinggian:

1. Identifikasi Risiko

Identifikasi potensi risiko yang terkait dengan pekerjaan ketinggian, seperti jatuh bebas, benda jatuh, atau risiko lainnya. Gunakan metode HIRADC dan Job Safety Analisis (JSA) yang sudah disahkan oleh perusahaan agar kita tahu secara pasti mengenai bahaya dan rekomendasi pengendalian yang disarankan.

2. Perencanaan Pekerjaan

Lakukan perencanaan yang cermat sebelum memulai pekerjaan ketinggian, termasuk pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai. Patuhi prosedur, izin bekerja dan beberapa persyaratan lain yang diwajibkan dalam pekerjaan ketinggian.

3. Pemilihan Peralatan Keselamatan

Gunakan peralatan keselamatan seperti helm, harnes, pengaman tali, dan peralatan lain yang sesuai dengan jenis pekerjaan ketinggian yang dilakukan. Selain itu, peralatan lain yang diwajibkan, peralatan tambahan, dan peralatan darurat juga perlu dipersiapkan sebelum pelaksanaan pekerjaan.

4. Pelatihan Pekerja

Pastikan bahwa pekerja yang melakukan pekerjaan ketinggian telah menerima pelatihan yang memadai tentang penggunaan peralatan keselamatan dan prosedur kerja yang aman. Pekerja yang terlatih dan tersertifikasi bisa meminimalisir kejadian kecelakaan kerja yang akan terjadi pada pekerjaan ketinggian.

5. Pemeriksaan Peralatan

Lakukan pemeriksaan rutin terhadap peralatan keselamatan untuk memastikan bahwa semuanya dalam kondisi baik dan dapat digunakan dengan efektif. Gunakan checklist yang ada dan bisa dibutuhkkan untuk membantu kita menganalisa kebutuhan wajib tentang peralatan kerja yang harus kita siapkan.

6. Pengawasan

Pastikan bahwa ada pengawasan yang memadai selama pekerjaan ketinggian untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko dengan cepat. Penerapan kepatuhan terhadap prosedur ini juga perlu dilakukan agar pelaksanaan pekerjaan berjalan optimal. Prosedur juga harus disosialisasi dan dievaluasi agar saat pelaksanaan tidak terjadi kendala yang berarti.

7. Pengendalian Lingkungan

Pastikan lingkungan di sekitar area kerja ketinggian aman dan terkendali. Hindari pekerjaan ketinggian saat kondisi cuaca berbahaya. Komunikasikan apabila pekerjaan harus dilakukan ditengah cuaca yang buruk, segera komunikasikan kepada bagian terkait agar pelaksaan pekerjaan berjalan efektif dan sesuai target rencana.

8. Penyediaan Pemadam Kebakaran

Pastikan bahwa ada pemadam kebakaran yang mudah diakses di tempat kerja ketinggian, terutama jika ada risiko kebakaran. Pastikan juga bahwa alat pemadam kebakaran yang digunakan telah sesuai klasifikasi kebakaran dan penempatannya. Penunjukan petugas pemadam juga penting dilakukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan pemadaman kebakaran.

9. Penerapan Prosedur Darurat

Tetapkan prosedur darurat untuk menanggapi situasi darurat, seperti evakuasi cepat atau penaganan kecelakaan. Prosedur ini harus diuji coba, disosialisasikan dan direview secara berkala agar pelaksanaan tanggap darurat bisa diketahui semua orang, mudah dilaksanakan dan tidak menimbulkan dampak negative lainnya.

10. Komunikasi Efektif

Pastikan ada sistem komunikasi yang efektif antara pekerja yang berada di ketinggian dan mereka yang ada di bawah. Komunikasi juga bisa berupa suara, visual maupun metode lain yang sudah diatur didalam kebijakan perusahaan.

11. Penggunaan Tali Pengaman

Gunakan tali pengaman dan sitem pengaman yang sesuai dengan jenis pekerjaan ketinggian yang dilakukan. Tali pengaman disesuaikan juga berdasarkan beban kerja menyangkut tentang orang, peralatan, dan beban keseluruhan. Pemilihan tali pengaman juga disesuaikan dengan jenis kerjanya, baik itu yang statis maupun yang dinamis.

 

Penting untuk mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang belaku serta mengikuti panduan dari otoritas setempat. Setiap pekerjaan ketinggian harus direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab demi keselamatan semua pekerja yang terlibat.

 

Penulis: Rino Praditya – Tenaga Ahli Ketinggian PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Penyelamatan di Ruang Terbatas

Penyelamatan di Ruang Terbatas

growsafetyinstitute.co.id – Menyelamatkan seseorang dari ruang terbatas adalah operasi kompleks dan berpotensi berbahaya yang memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang cermat. Ruang terbatas menimbulkan tantangan unik seperti terbatasnya titik masuk dan keluar, ventilasi yang buruk, dan potensi atmosfer berbahaya.

Berikut adalah beberapa langkah umum yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan penyelamatan di ruang terbatas:

Penilaian dan Perencanaan

Evaluasi ruang terbatas untuk mengidentifikasi potensi bahaya, seperti gas beracun, kekurangan oksigen, atau hambatan fisik.

Kembangkan rencana penyelamatan yang mencakup perincian tentang titik masuk dan keluar, metode komunikasi, dan peralatan yang dibutuhkan.

Komunikasi

Membangun saluran komunikasi yang jelas antara penyelamat di dalam dan di luar ruang terbatas.

Usahakan gunakan radio, isyarat tangan, atau perangkat komunikasi lain yang dapat diandalkan untuk menyampaikan keadaan.

Peralatan

Gunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai, termasuk pelindung pernafasan, tali pengaman, dan helm.

Gunakan peralatan penyelamat khusus seperti kerekan, tripod, dan tali penyelamat.

Ventilasi

Sebelum memasuki ruang terbatas, pastikan terdapat ventilasi yang baik untuk menghilangkan atau mengendalikan atmosfer berbahaya.

Masuk dan Keluar

Siapkan sarana masuk dan keluar yang aman, seperti tripod atau sistem lengan davit. Pertimbangkan penggunaan jalur pengambilan dan tali pengaman untuk memfasilitasi masuk dan keluar.

Pemantauan

Pantau terus atmosfer di dalam ruang terbatas untuk mengetahui perubahan kadar oksigen, gas beracun atau potensi bahaya lainnya.

Tim Penyelamat

Siapkan tim penyelamat khusus di luar ruang terbatas untuk merespons dengan cepat jika diperlukan.

Pastikan tim memahami rencana penyelamatan dan dapat bertindak secara efisien.

Dukungan medis

Siapkan personel dan peralatan medis untuk memberikan perawatan segera kepada individu yang diselamatkan.

Dokumentasi

Simpan catatan rinci tentang operasi penyelamatan, termasuk tindakan yang dilakukan, peralatan yang digunakan, dan masalah apapun yang dihadapi.

Evaluasi Pasca Penyelamatan

Setelah penyelamatan, lakukan pembekalan untuk menilai efektivitas operasi dan mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki.

Hal tersebut perlu diperhatikan saat akan memasuki ruang terbatas karena bertujuan sebagai monitoring jumlah orang yang masuk dan keluar. Adanya pencatatan juga mampu untuk mengendalikan area ruang terbatas.

Ingatlah bahwa penyelamatan di ruang terbatas hanya boleh dilakukan oleh personel yang terlatih dan berkualifikasi. Jika ada keraguan tentang keselamatan operasi penyelamatan, penting utuk berkonsultasi dengan profesional atau layanan darurat. Selalu patuhi peraturan dan pedoman setempat saat melakukan penyelamatan di ruang terbatas.

 

Penulis: Rino Praditya – Tenaga Ahli Confined Space PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

Penyusunan Kebijakan K3

Penyusunan Kebijakan K3

growsafetyinstitute.co.id – Kebijakan K3 merupakan komitmen pimpinan suatu organisasi perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja seluruh personel yang berada di bawah kendali organisasi tersebut serta pihak-pihak yang terkait (relevan) dengan kegiatan operasional perusahaan (organisasi).

Syarat kebijakan K3 berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2012 (pasal 7 ayat 3), kebijakan k3 paling sedikit memuat:

1. Visi Perusahaan

Visi perusahaan dalam kebijakan K3 biasanya mencerminkan komitmen perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Visi ini dapat mencakup tujuan jangka panjang terkait dengan perlindungan kesehatan dan keselamatan karyawan serta pengurangan risiko potensial di tempat kerja.

2. Tujuan Perusahaan

Tujuan perusahaan dalam kebijakan K3 mencakup berbagai aspek yang ditujukan untuk melindungi karyawan, mengurangi risiko kecelakaan kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.

Salah satu tujuan perusahaan dalam kebijakan K3 adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, peningkatan kesejahteraan karyawan serta kinerja K3 dalam perusahaan.

3. Komitmen dan Tekad Melaksanakan Kebijakan

Komitmen dan tekad untuk melaksanakan kebijakan K3 dapat ditunjukkan melalui berbagai tindakan konkret. Berikut adalah beberapa cara bagaimana komitmen tersebut dapat tercermin dalam tindakan nyata:

  • Alokasi Sumber Daya
  • Partisipasi Pemimpin Tertinggi
  • Pengembangan Budaya Keselamatan
  • Komunikasi Terbuka
  • Peninjauan Berkala

4. Kerangka dan Program Kerja

Kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan operasional dalam penerapan Sistem Manajemen K3 di dalam perusahaan.

 

Selain itu, pada lampiran II Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2012 mengenai pedoman penilaian penerapan SMK3 bagian A. Kriteria Audit SMK3, dijelaskan bahwa:

1. Terdapat kebijakan K3 yang tertulis, bertanggal, ditandatangani oleh pengusaha atau pengurus, secara jelas menyatakan tujuan dan sasaran K3 serta komitmen terhadap peningkatan K3.

2. Kebijakan disusun oleh pengusaha dan/atau pengurus setelah melalui proses konsultasi dengan wakil tenaga kerja.

3. Perusahaan mengkomunikasikan kebijakan K3 kepada seluruh tenaga kerja, tamu, kontraktor, pelanggan, dan pemasok dengan tata cara yang tepat.

4. Kebijakan khusus dibuat untuk masalah K3 yang bersifat khusus.

5. Kebijakan K3 dan kebijakan khusus lainnya ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan dalam peraturan perundang-undangan.

 

Dijelaskan juga dalam Kepdirjen Minerba No. 185.K/30/DJB/2019 tentang petunjuk teknis penerapan, penilaian, dan pelaporan SMKP Minerba Lampiran II.C, bahwa penetapan kebijakan mengikuti ketentuan:

1. Tertulis, tertanggal, dan ditandatangani;

2. Disahkan oleh pimpinan tertinggi pemegang IUP, IUPK, IUP operasi produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IPR, danIUJP; dan

3. Bersifat dinamis, yaitu menyesuaikan perubahan yang ada di pemegang IUP, IUPK, IUP operasi produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IPR, dan IUJP.

 

Sedangkan menurut ISO 45001:2018, Klausul 5.2 menyatakan bahwa kebijakan K3 harus:

1. Tersedia sebagai informasi terdokumentasi;

Maka dalam penerapan ISO 45001:2018, perusahaan harus memiliki kebijakan K3 yang terdokumentasi dengan baik.

2. Dikomunikasikan dalam organisasi;

Dalam penyusunan kebijakan K3, perusahaan harus mengkomunikasikan kebijakan tersebut dalam proses penyusunan dan pada saat telah disahkan.

3. Tersedia bagi pihak yang berkepentingan, yang relevan;

Selain disosialisasikan kepada pihak internal, kebijakan juga wajib disediakan oleh perusahaan untuk pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya dalam Company Profilewebsite perusahaan dan disampaikan dalam safety induction.

4. Relevan dan sesuai.

Demi memastikan bahwa kebijakan K3 selalu relevan dan sesuai, maka perusahaan harus melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan yang berlaku secara rutin dan sesegera mungkin ketika ada perubahan dalam konteks organisasi maupun peraturan perundangan.

 

Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bukan hanya merupakan dokumen formal, tetapi juga landasan untuk menciptakan budaya keselamatan yang kuat di dalam organisasi. Organisasi harus terus memantau dan mengevaluasi implementsai kebijakan ini agar dapat memastikan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi semua karyawan.

 

Penulis: Kartika Indira – Tenaga Ahli PT GSI Selamat Indonesia
Editor: Dinda Putri Azizah

×

Hello!

Customer Service Grow Safety Institute siap membantu anda!

× Ada yang bisa saya bantu?